Sedang Viral, Fenomena Quiet Quitting dan Dampaknya bagi Pekerja

5 Menit Membaca
Quiet Quitting

Di Indonesia sedang marak tren tentang quiet quitting bagi pekerja. Istilah tersebut populer di media sosial Tiktok dan sudah banyak menjadi bagian dari konten yang dibuat oleh penggunaanya.

Apa sih Quiet Quitting itu?

Quiet Quitting adalah sebutan untuk bekerja seadanya, atau bisa disimpulkan juga bahwa pekerja tidak menganggap pekerjaannya tersebut sebagai suatu hal yang serius.

Fenomena ini juga menyebabkan pekerja menghabiskan banyak waktu untuk lembur atau membawa pekerjaan ke rumah, hal ini tentunya disebabkan dengan tidak selesainya pekerjaan di kantor karena sering diundur-undur.

Secara harfiahnya, quiet quitting ini diartikan sebagai berhenti secara diam-diam. Mungkin, hal ini jugalah yang menjadi dasar dari adanya tren tersebut, sebab pekerja di generasi Z ingin tetap bertahan di pekerjaannya tapi juga memberi batasan terhadap kehidupan pribadinya.

Konsultan HR dari Proxsis HR

Penyebab Munculnya Quiet Quitting

Fenomena quiet quitting ini juga disebabkan dengan adanya perubahan pola pikir yang dialami oleh pekerja muda di Indonesia. Perubahan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan situasi dan kondisi kerja selama masa pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 yang mengharuskan pekerjanya bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) menyebabkan kurangnya interaksi pekerja dengan lingkungannya di perusahaan.

Dengan kurangnya interaksi ini, ternyata juga menyebabkan terhadap semangat dan nilai juang untuk bekerja dan cinta akan perusahaan menjadi pudar. Selain itu, minimnya apresiasi di lingkungan kerja akibat WFH juga menjadi salah satu faktor quiet quitting ini.

Semakin banyak pekerja muda di Indonesia yang merasa tidak mendapatkan pengakuan dan kompensasi dari perusahaannya itu, ternyata menjadi alasan dari trennya quiet quitting ini di media sosial.

Bagaimana tidak, ketika sebelum masa pandemi, situasi dan kondisi di masyarakat masih stabil dan pekerjaan dilakukan dengan semestinya. Masuk kantor, bekerja, bercengkrama dan lalu pulang. Hal ini tentunya menjadi rutinitas yang kadang disenangi oleh para pekerja.

Melalui situasi tersebut, tentunya pekerja pasti memiliki sahabat akrab, kenalan dengan atasan dan interaksi sesama pekerja bisa disebut akrab. Tentunya, ketika iklim di dunia kerja sepertinya, nilai dan etos kerja yang dimiliki oleh pekerja tentunya juga akan bertambah.

Namun, sehabis pandemi Covid-19 ini, dengan banyaknya hal-hal yang biasa dilakukan di kantor seperti diskusi dan saling bercerita itu hilang. Pekerja sibuk dengan dirinya di rumah, kehilangan tempat bercerita dan rasa etos kerja di perusahaan.

Hal ini juga menyebabkan pekerja hanya sekadar bekerja saja. Sesuai dengan takaran gaji yang ia dapat dan tak lagi mencari alasan lain dari pekerjaan itu selain keuangan. Padahal, ada banyak faktor yang bisa dijadikan pengalaman dan pelajaran saat di dunia kerja itu.

Dampak dari Quiet Quitting

Apa sih Dampak Quiet Quitting?

Quiet Quitting ini ternyata bukan fenomena atau trend yang bisa dibiarkan bertahan lama. Ternyata ada banyak dampak buruk yang diberikannya baik untuk perusahaan maupun karyawannya sendiri.

Berikut telah penulis rangkum dampak dari quiet quitting ini, yaitu:

1. Kurangnya Produktivitas Karyawan

Dengan adanya praktik quiet quitting ini dilakukan oleh pekerja muda di Indonesia, tentunya produktivitas sesama pekerja akan berkurang. Hal ini juga menyebabkan tidak adanya kreasi atau inovasi baru yang mampu dimunculkan dalam diri pekerja tersebut.

2. Tidak Serius dalam Bekerja

Selain itu, dampak selanjutnya dari fenomena quiet quitting ini adalah tidak seriusnya karyawan dalam bekerja. Karena biasanya mereka hanya akan bekerja sesuai porsinya saja dan tidak ingin menciptakan hal yang baru. Dan tak menutup kemungkinan jika mereka hanya sekadar bekerja.

3. Hilangnya Jenjang Karir

Perusahaan tentunya ingin memiliki karyawan yang totalitas dan mampu memberikan nilai lebih untuk perusahaan. Hal ini, tentunya dilihat dari kinerja dan kemampuan dari setiap karyawannya.

Tak jarang juga, jika karyawan yang telah lama bekerja dan memiliki kemampuan lebih dari karyawan lainnya diberikan promosi untuk lanjut ke jenjang karir berikutnya. Hal ini, tentunya berdampak baik terhadap gaji dan pengalaman bekerja.

Namun, semua itu tidak akan bisa didapatkan karyawan jika ia hanya bekerja seadanya saja. Nah, bagaimana, apakah menurutmu fenomena quiet quitting ini baik untuk terus dipertahankan?

Salah satu untuk mencegah quiet quitting ini bisa dengan cara membangun Corporate Culture melalui perencanaan Employee Engagement. Proxsis HR siap untuk melayani dan berkolaborasi. Konsultasikan kebutuhan Anda melalui link berikut.

Rate this post
Bagikan artikel ini