Sebagian orang berpikir memiliki pekerjaan dan berdedikasi untuk bekerja adalah standar kesuksesan dan kemakmuran seseorang. Padahal, karyawan memang diminta melaksanakan pekerjaan dan tanggung jawab pada tugas yang diberikan.
Namun, bukan berarti Anda menempatkan pekerjaan di atas segalanya. Jangan sampai Anda mengorbankan kehidupan sosial dan pribadi Anda. Kebiasaan ini sering disebut dengan istilah hustle culture.
Apakah Anda pernah mendengar istilah hustle culture? Apa itu hustle culture? Bagi sebagain orang kalimat ini sudah tidak asing lagi ditelinga, namun ternyata banyak juga yang belum mengetahuinya.
Ikuti penjelasan di bawah ini untuk mengetahui seputar hustle culture.
A. Mengenal Hustle culture
Secara bahasa, istilah hustle culture berasal dari kata Bahasa Inggris. Hustle artinya antara lain aksi energik yang mendorong seseorang agar bisa bergerak lebih cepat secara agresif. Kemudian dipadukan dengan kata culture yang berarti budaya.
Hustle culture dapat didefinisikan sebagai budaya yang membuat seseorang menjadi gila kerja atau apa yang disebut workaholism. Istilah workaholism diperkenalkan pertama kali oleh Wayne Oates dalam bukunya yang berjudul Confessions of a Workaholic : the Facts About Work Addiction pada tahun 1971.
Pada saat ini tren hustle culture dimaknai sebagai suatu keadaan seorang yang bekerja terlalu keras dan mendorong diri sendiri untuk melampaui batas kemampuan hingga akhirnya menjadi gaya hidup.
Bagi penganut ini menganggap tiada hari tanpa bekerja, hingga tak ada lagi waktu untuk kehidupan pribadi. Budaya gila kerja inilah yang kemudian menjadi standar bagi sebagian orang untuk mengukur hal-hal seperti produktivitas dan kinerja.
Dalam dunia yang kompetitif ini, produktivitas dijunjung tinggi dan budaya gila kerja cenderung diapresiasi. Konstruksi sosial masyarakat berpandangan bahwa tolok ukur kesuksesan hidup seseorang adalah jabatan dan kondisi finansial yang baik.
Keadaan ini diperparah dengan tren memamerkan kesibukan di media sosial yang menjangkiti banyak generasi muda. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Robinson (2019), sebanyak 45 persen dari pengguna sosial media gemar mengunggah post tentang betapa sibuknya mereka seperti saat mereka lembur, saat dikejar banyak deadline, target, dan semacamnya semata untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pekerja keras dan pegawai yang berdedikasi tinggi.
Pengaruh sosial media kemudian mendorong para pengguna untuk berpikir bahwa bekerja terlalu keras adalah hal yang keren. Alhasil, timbul efek bola salju karena para pengguna media sosial lainnya enggan merasa tertinggal. Mereka pun menunjukkan kesibukannya dengan harapan mendapatkan atensi dari lingkungan media sosial. Faktor ini yang turut mendorong semakin munculnya fenomena hustle culture.
B. Penyebab Hustle Culture
Budaya hustle culture terjadi di tengah masyarakat karena sejumlah penyebab, yaitu:
1. Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknologi berdampak mendorong terjadinya hustle culture. Tidak hanya sebagai sarana hiburan, teknologi juga banyak digunakan sebagai alat untuk bekerja. Sehingga orang akan cenderung lebih banyak memakai teknologi untuk bekerja seharian.
Teknologi yang semakin canggih ditambah media komunikasi tidak selalu harus tatap muka tetapi dapat dilakukan dengan cara bertemu, menelepon, dan berkirim pesan. Hal ini mendukung budaya hiruk pikuk yang bisa dilakukan di luar jam kerja.
2. Konstruksi Sosial
Banyak orang yang menilai seseorang ditentukan dengan kesuksesan yang berhasil mereka raih di usia muda. Kemudian pada saat tua nanti mereka bisa menikmati jeri payah yang telah dikerjakan selama usia produktif.
Sebagian orang menganggap bahwa semakin sibuk seseorang, semakin besar peluang untuk mendapatkan posisi pekerjaan yang tinggi, pendapatan yang lebih baik, dan kesuksesan. Hal ini menjadikan anak muda banyak yang melakukan hustle culture.
3. Toxic Positivity
Toxic Positivity adalah dorongan untuk tetap berasumsi positif terhadap segala hal walau sedang mengalami situasi tertekan. Asumsi ini biasanya hadir dari dalam pikiran atau melalui perkataan orang di sekitar.
Toxic positivity merupakan suatu kondisi di mana seseorang akan menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk menoleransi emosi negatif dan selalu berpikir positif bahkan dalam kondisi stres.
C. Dampak Bahaya Hustle Culture
Budaya hustle culture memiliki dampak buruk bagi kehidupan seseorang. Menurut penelitian Mental Health Foundation, sekitar 14,7% pekerja di Inggris mengalami masalah kesehatan mental akibat stres kerja.
Studi lain menyebutkan, Jepang merupakan negara dengan jumlah pekerja yang memiliki masalah mental dan kesehatan tiga kali lebih tinggi dari rata-rata negara di dunia.
Dilansir dari Journal of Occupation Medicine, orang dengan jam kerja yang panjang akan mengalami depresi dan gangguan tidur.
Budaya ini juga dapat berdampak negatif pada kehidupan sosial karena tidak memiliki waktu untuk menjalankan kehidupan sosial atau kehidupan pribadi. Pada intinya ada tiga dampak yang buruk bakal menyerang yaitu
- Meningkatkan risiko penyakit pada tubuh.
- Meningkatkan peluang terjadinya gangguan kesehatan mental.
- Kehilangan kehidupan yang seimbang.
D. Solusi Mengatasi Hustle Culture
Supaya tren hustle culture tidak sampai memberi dampak buruk, Anda perlu melakukan beberapa tips atau cara yang bisa dilakukan, sebagai berikut:
1. Tidak Membanding-bandingkan Diri
Tidak membanding-bandingkan diri dengan orang lain, karena setiap orang memiliki waktunya masing-masing untuk mencapai kesuksesan, bisa dalam waktu singkat atau lama.
Kesuksesan setiap orang tidak bisa dibandingkan karena proses dan faktor pendukung berbeda. Hal paling penting, Anda harus terus berkembang dan lebih baik dari hari ke hari dan lebih baik dari sebelumnya tanpa membandingkan diri dengan orang lain.
Baca juga: 300 Karyawan Indosat Di-PHK atau Rightsizing, Apa Bedanya? Simak 5 Fakta Berikut
2. Miliki Kegiatan Lain di Luar Pekerjaan
Anda harus mencari hobi di luar pekerjaan. Anda dapat bersantai dan menyenangkan hati dan perasaan dengan menekuni hobi atau aktivitas selain pekerjaan. Jika tidak memiliki aktivitas lain selain bekerja, maka Anda akan terbiasa bekerja di waktu senggang.
3. Kenali Batas Kemampuan Diri
Anda harus memahami batasan dan kapasitas diri Anda. Jika merasa lelah secara fisik dan mental dari pekerjaan, Anda dapat beristirahat sejenak dan mencari hiburan untuk sementara waktu.
Anda harus sadar terhadap keadaan. Saat mulai merasa terlalu lama bekerja dan tubuh mulai memberikan respons negatif seperti kelelahan, Anda harus segera sadar dan beristirahat. Batasan dan kemampuan orang berbeda-beda. Oleh karena itu, Anda harus memahami dan menetapkan batasan untuk dirimu sendiri.
5. Jangan Menunda Pekerjaan
Jangan menunda-nunda agar terhindar dari pekerjaan yang tidak pernah berakhir dan perlu diselesaikan pada hari libur atau waktu luang.
Buat jadwal perencanaan dengan baik agar tidak terjadi penumpukan pekerjaan dan deadline. Jangan lupa jadwalkan istirahat atau bahkan liburan di sela-sela kesibukan. Perencanaan yang efektif akan membuat lebih produktif dan terhindar dari kelelahan.
Itulah tips yang bisa Anda lakukan agar terhindar dari hustle culture dan menerapkan gaya kerja yang sehat. Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan bekerja keras, melakukan pekerjaan sebaik mungkin akan memberikan peluang keberhasilan yang lebih tinggi. Namun Anda harus menyadari bahwa setiap orang punya sisi lain dari kehidupannya yang juga harus dipenuhi.
Proxsis HR siap untuk melayani dan berkolaborasi. Konsultasikan kebutuhan Anda melalui link berikut.
Inquiry
News & Article
- 7 Alasan Penting di Balik Pilihan Pensiun Dini, Lengkap dengan Kisah Suksesnya
- 16 Kesalahan Fatal Perencanaan Pensiun dan Strategi Persiapan Pensiun 2025
- Cara Asesmen Kompetensi Meningkatkan Produktivitas dan Kinerja Tim Anda
- Asesmen Kompetensi: Strategi Efektif untuk Penilaian Karyawan yang Lebih Akurat
- Pentingnya Sertifikasi BNSP bagi HRD: Keunggulan dan Cara Mendapatkannya
Latest Events
- Badan Pusat Statistik – Emerging Leader Development Program
- BPJS Ketenagakerjaan – Change Your Selftalk, Change Your Life
- Employee Development Program – PT Waskita Toll Road Kolaborasi dengan Proxsis HR
- Proxsis HR Professional Community – Monthly Meetup Ep. 26 Leading with Adaptability: Embracing Learning Agility as a Future Leader
- PT PGAS Telekomunikasi Nusantara – Design Thinking for Innovation and Continuous Improvement