MK Kabulkan Sebagian Gugatan Terkait UU Ciptaker, Ini 12 Catatan untuk HRD

5 Menit Membaca
MK Kabulkan Sebagian Gugatan Terkait UU Ciptaker, Ini 12 Catatan untuk HRD

Kabar terbaru dari Mahkamah Konstitusi (MK) menarik perhatian publik. Pada 31 Oktober 2024, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa pihak terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). 

Putusan ini dihasilkan setelah adanya sidang lanjutan yang melibatkan partai dan serikat buruh yang mengajukan keberatan atas beberapa pasal dalam UU Ciptaker. Yuk, kita simak penjelasan selengkapnya mengenai putusan ini!

Mengapa UU Ciptaker Digugat?

Dalam permohonannya, Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja seperti FSPMI, KSPI, dan KSPSI menggugat 71 poin pada bagian tertentu UU Ciptaker. 

Inti gugatan ini berfokus pada isu-isu terkait pengupahan, hubungan kerja, dan tenaga kerja asing yang dianggap berpotensi mengancam hak-hak pekerja. 

Beberapa pasal dalam UU Ciptaker dianggap tumpang tindih dengan UU Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003), sehingga berpotensi mengurangi perlindungan bagi para pekerja.

Baca juga : Pentingnya Sertifikasi BNSP bagi HRD: Keunggulan dan Cara Mendapatkannya

Putusan Mahkamah Konstitusi

MK menyatakan bahwa tumpang tindih norma dalam UU Ciptaker dan UU Ketenagakerjaan dapat mengancam hak-hak pekerja, sehingga diperlukan peraturan yang lebih harmonis. Untuk mengatasi ketidakharmonisan ini, MK memutuskan agar pemerintah segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru yang terpisah dari UU Ciptaker. 

MK juga mengabulkan sebagian permohonan, dengan mengubah 21 pasal yang dinilai bermasalah.

Baca juga : Tips dan Trik Sukses Mengikuti Pelatihan Sertifikasi HR BNSP untuk Pemula

Poin-Poin 21 Pasal Putusan MK

  1. Menyatakan frasa ‘Pemerintah Pusat’ dalam Pasal 42 ayat (1) dalam pasal 81 angka 4 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan in casu menteri Tenaga Kerja’
  2. Menyatakan pasal 42 ayat (4) dalam pasal 81 angka 4 UU 6/2023 yang menyatakan ‘tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia’
  3. Menyatakan pasal 56 ayat (3) dalam pasal 81 angka 12 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja’, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan’
  4. Menyatakan pasal 57 ayat 1 dalam pasal 81 angka 13 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf Latin’, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf Latin’
  5. Menyatakan pasal 64 ayat 2 dalam pasal 81 angka 18 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dimaksud pada ayat (1)’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya’
  6. Menyatakan pasal 79 ayat 2 huruf b dalam pasal 81 angka 25 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa ‘atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu’
  7. Menyatakan kata ‘dapat’ dalam pasal 79 ayat 5 dalam pasal 81 angka 25 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
  8. Menyatakan pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Setiap pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua’
  9. Menyatakan Pasal 88 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan layak bagi kemanusiaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan’
  10. Menyatakan frasa ‘struktur dan skala upah’ pasal 88 ayat 3 huruf b dalam pasal 81 angka 27 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘struktur dan skala upah yang proporsional’
  11. Menyatakan pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota’
  12. Menyatakan frasa ‘indeks tertentu’ dalam pasal 88D ayat 2 dalam pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh’
  13. Menyatakan frasa ‘dalam keadaan tertentu’ dalam pasal 88F dalam pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau non alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’
  14. Menyatakan Pasal 90A dalam pasal 81 angka 31 yang menyatakan ‘upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan’
  15. Menyatakan pasal 92 ayat 1 dalam pasal 81 angka 33 UU 5/2023 yang menyatakan ‘Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi’
  16. Menyatakan pasal 95 ayat 3 dalam pasal 81 angka 36 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan’
  17. Menyatakan pasal 98 ayat 1 dalam pasal 81 angka 39 UU 6/2023 yang menyatakan ‘untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif’
  18. Menyatakan frasa ‘wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh’ dalam pasal 151 ayat (3) dalam pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh’
  19. Menyatakan frasa ‘Pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial’ dalam pasal 151 ayat (4) dalam pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Dalam perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap’
  20. Menyatakan frasa ‘dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya’ dalam norma pasal 157A ayat (3) dalam pasal 81 angka 49 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI’
  21. Menyatakan frasa ‘diberikan dengan ketentuan sebagai berikut’ pasal 156 ayat 2 dalam pasal 81 angka 47 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘paling sedikit’.

Baca juga : 7 Cara Mengelola Shift Kerja Karyawan, HRD Wajib Tahu

Catatan HRD terkait 21 Pasal yang Dikabulkan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah serikat pekerja. 

Dalam putusannya, MK mengubah 21 pasal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Perubahan ini memiliki implikasi signifikan bagi departemen Sumber Daya Manusia (HRD) di perusahaan. Berikut adalah catatan penting yang perlu diperhatikan oleh HRD terkait perubahan tersebut:

  1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT): MK menetapkan bahwa jangka waktu PKWT tidak boleh melebihi lima tahun, termasuk perpanjangan. Hal ini berarti perusahaan harus memastikan bahwa kontrak PKWT tidak melampaui batas waktu tersebut.dalam semua jenis jabatan. 
  2. Tenaga Kerja Lokal Harus Diutamakan: Pemberi kerja wajib mengutamakan tenaga kerja Indonesia. Tenaga kerja asing dibolehkan jika jabatan tersebut belum diduduki oleh tenaga kerja lokal.
  3. UU Ketenagakerjaan Dipisah: MK meminta pembentuk UU segera membentuk UU ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja.
  4. Tenaga Kerja Asing (TKA): Penggunaan TKA di Indonesia dibatasi hanya untuk jabatan dan waktu tertentu, dengan kompetensi sesuai jabatan yang diduduki. Selain itu, perusahaan harus mengutamakan penggunaan tenaga kerja lokal sebelum merekrut TKA.
  5. Upah dan Pengupahan: MK menegaskan bahwa setiap pekerja berhak atas penghidupan yang layak, termasuk penghasilan yang memenuhi kebutuhan hidup secara wajar. Perusahaan wajib menyusun struktur dan skala upah yang proporsional, mempertimbangkan kemampuan perusahaan, produktivitas, golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
  6. Istirahat dan Cuti: Perusahaan harus memberikan istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam seminggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam seminggu. Selain itu, kata “dapat” dalam ketentuan cuti tahunan dihapus, sehingga pemberian cuti tahunan menjadi wajib.
  7. Skala Upah Harus Proporsional: MK merasa perlu menambah frasa “yang proporsional” Untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah”.
  8. Menghidupkan Kembali Dewan Pengupahan: MK mengembalikan dewan pengupahan dalam UU cipta kerja, memastikan kebijakan upah lebih inklusif.
  9. Libur 2 Hari Seminggu: MK mengembalikan opsi libur 2 hari untuk 5 hari kerja, yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.
  10. Upah Minimum Sektoral (UMS) Kembali Berlaku: MK menegaskan bahwa UMS perlu diberlakukan kembali, setelah sebelumnya dihapus UU Ciptaker, demi perlindungan pekerja.
  11. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): PHK harus dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Jika tidak tercapai kesepakatan, PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
  12. Alih Daya (Outsourcing): MK menegaskan bahwa menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya. Perusahaan harus memastikan bahwa perjanjian alih daya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh menteri.

Kesimpulan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) membawa implikasi besar bagi pelaku industri dan manajemen ketenagakerjaan di Indonesia. Revisi pada 21 pasal dalam UU Ciptaker menunjukkan upaya pemerintah untuk memperkuat perlindungan hak-hak pekerja sekaligus menjaga keselarasan regulasi ketenagakerjaan. 

Bagi para pelaku HRD, perubahan ini menuntut penyesuaian kebijakan di berbagai aspek, seperti pengaturan perjanjian kerja, pengelolaan tenaga kerja asing, struktur pengupahan, hingga prosedur pemutusan hubungan kerja.

Putusan ini menjadi momentum penting bagi perusahaan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi terbaru dan menjaga hubungan industrial yang harmonis. Dalam menghadapi perubahan regulasi yang dinamis ini, perusahaan perlu terus meningkatkan kompetensi dan pemahaman tim HR dalam mengelola sumber daya manusia secara strategis.

Bagi Anda yang ingin memastikan tim HR di perusahaan tetap kompeten dalam mengelola regulasi terbaru serta menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang sesuai, Proxsis HR menyediakan layanan pelatihan dan sertifikasi HR Manager BNSP yang dapat membantu tim Anda menghadapi tantangan ini dengan lebih profesional dan terpercaya. Temukan informasi lebih lanjut tentang pelatihan ini di sini.

5/5 - (1 vote)
Bagikan artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.